“Penjajahan
Pemerintah Belanda”
1. Masa Pemerintahan Republik Bataaf
Raja Willem van Oranye ( Raja Willem V) yang
memerintah inggris di kota Kew mengeluarkan surat perintah yang terkenal dengan
“Surat-Surat Kew” yang berisi agar para penguasa di negeri jajahan belanda
menyerahkian wilayahnya kepada inggris bukan kepada perancis. Dengan surat itu
pihak inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di
Hindia seperti Padang pada tahun 1795,
kemudian menguasai Ambon dan Banda pd
tahun 1796.
Pihak Prancis dan Republik Bataaf juga segera
mengambil alih seluruh daerah kekuasaan VOC di kepulauan nusantara. Karena
Republik Bataaf ini merupakan vassal dari perancis, maka kebijakan kebijakan
Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan hindia masih jg terpengaruhi oleh
prancis. Kebijakan utama prancis waktu itu adalah memerangi inggris. Untuk
menyerang inggris
a.
Pemerintahan Herman Willem Daendels (1880-1811)
Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah
di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan
Jawa agar tidak dikuasai Inggris.
·
Bidang pertahanan dan keamanan
Dalam rangka melaksanakan tugas
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels melakukan langkah-langkah:
a. membangun
benteng-benteng pertahanan baru, seperti benteng Meester Cornelis;
b. membangun
pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. Namun pembangunan pangkalan di
Ujungkulon boleh dikatakan tidak berhasil;
c. meningkatkan
jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi karena pada waktu pergi ke
Nusantara, Daendels tidak membawa pasukan. Oleh karena itu, Daendels segera
menambah jumlah pasukan yang diambil dari orang-orang pribumi, yakni dari 4.000
orang menjadi 18.000 orang
d membangun jalan
raya dari Anyer (Jawa Barat, sekarang Provinsi Banten) sampai Panarukan (ujung
timur Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km. Jalan
ini dinamakan Jalan De Groote Postweg yang oleh masyarakat sering disebut
dengan jalan Daendels
Pada awalnya Daendels dikenal sebagai
tokoh muda yang demokratis dan dijiwai panji-panji Revolusi Prancis dengan
semboyannya: liberte, egalite dan fraternite. Namun setelah memegang tampuk
pemerintahan, ia berubah menjadi diktator. Daendels juga mengerahkan rakyat
untuk kerja rodi. Kerja rodi itu membuat rakyat yang sudah jatuh miskin menjadi
semakin menderita.
·
Bidang politik dan pemerintahan
Daendels juga melakukan beberapa
tindakan yang dapat memperkuat kedudukannya di Nusantara, antara lain:
a. membatasi secara ketat kekuasaan
raja-raja di Nusantara;
b. Daendels memerintah secara
sentralistik yang kuat dengan membagi
Pulau Jawa menjadi 23 wilayah besar (hoofdafdeeling) yang kemudian
dikenal dengan keresidenan (residentie). Tiap karesidenan dapat dibagi menjadi
beberapa kabupaten (regentschap) (Suhartono, “Dampak Politik Hindia Belanda
(1800-1830)”, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
c. berdasarkan Dekrit 18 Agustus 1808,
Daendels juga telah merombak Provinsi Jawa Pantai Timur Laut menjadi 5
prefektur. (wilayah yang memiliki otoritas) dan 38 kabupaten. Terkait dengan
ini maka Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan daerahnya dinyatakan
sebagai wilayah pemerintahan kolonial;
d.
kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional diubah menjadi pegawai
pemerintah (kolonial) yang digaji. Sekalipun demikian para bupati masih
memiliki hak-hak feodal tertentu.
Jumlah
keresidenan di pulau jawa pada masa pemerintahan Daendels ada 23, yaitu: Tegal,
Bagelen, Banyumas, Cirebon, Priangan, Karawang,
Buitenzorg (Bogor), Banten, Batavia (Jakarta), Surakarta, Yogyakarta,
Banyuwangi, Besuki, Pasuruan, Kediri, Surabaya, Rembang, Madiun, Pacitan,
Jepara, Semarang, Kedu, Pekalongan.
·
Bidang peradilan
Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur
ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di
bidang peradilan. Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan dengan
mengeluarkan berbagai peraturan.
a. Daendels membentuk tiga jenis peradilan:
1.
peradilan untuk orang Eropa
2.
peradilan untuk orang-orang Timur
Asing
3.
peradilan untuk orang-orang
pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di
Batavia, Surabaya, dan Semarang
b.
peraturan untuk pemberantasan
korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa
saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing.
·
Sosial ekonomi
Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat mendatangkan
keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels
itu misalnya
a.
Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta dan Yogyakarta yang intinya melakukan
penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya
daerah Cirebon
b. meningkatkan usaha pemasukan uang
dengan cara pemungutan pajak dan penjualan tanah kepada swasta
c. meningkatkan penanaman tanaman yang
hasilnya laku di pasaran dunia
d. rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan
wajib hasil pertaniannya
e. melakukan penjualan tanah-tanah
kepada pihak swasta
Perancis mengirim Daendels ke Indonesia dengan tugas utama
untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tetapi armada Inggris ternyata
lebih kuat dan unggul. Jan Williem Janssen yang menggantikan Daendels tidak
bisa berbuat banyak. Penguasa Inggris di India, Lord Minto kemudian
memerintahkan Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Pulau Penang untuk
segera menguasai Jawa. Pengalaman pahit Janssen saat terusir dari Tanjung
Harapan pada tahun 1806 itu Janssen terusir dari Tanjung Harapan, karena daerah
itu jatuh ke tangan Inggris pun terulang. Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak
60 kapal Inggris di bawah komando Raffles telah muncul di perairan sekitar
Batavia. Beberapa minggu berikutnya, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811
Batavia jatuh ke tangan Inggris. Janssen berusaha menyingkir ke Semarang
bergabung dengan Legiujkn Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari Yogyakarta
serta Surakarta. Namun, pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil memukul
mundur Janssen beserta pasukannya. Janssen kemudian mundur ke Salatiga dan
akhirnya menyerah di Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak Inggris
ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang yang ditandatangani pada tanggal 18
September 1811.
2. Perkembangan Kolonialisme Inggris di Indonesia
Tanggal
18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia.
Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia. Sebagai
penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan langkahlangkah untuk memperkuat
kedudukan Inggris di tanah jajahan. Dalam rangka menjalankan pemerintahannya,
Raffles berpegang pada tiga prinsip.
- - Pertama, segala bentuk kerja rodi
dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat.
- - Kedua, peranan para bupati sebagai
pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah
kolonial.
- - Ketiga, atas dasar pandangan bahwa
tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai
penyewa. Berangkat dari tiga prinsip itu
Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik
pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.
a.
Kebijakan dalam bidang pemerintahan
Pada waktu Raffles berkuasa, konflik di lingkungan istana Kasultanan
Yogyakarta nampaknya belum surut. Sultan Sepuh yang pernah dipecat oleh
Daendels, menyatakan diri kembali sebagai Sultan Hamengkubuwana II dan Sultan
Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai putera mahkota. Tetapi nampaknya
Sultan Raja tidak puas dengan tindakan ayahandanya, Hamengkubuwana II. Melalui
seorang perantara bernama Babah Jien Sing, Sultan Raja berkirim surat kepada
Raffles. Surat itu isinya melaporkan bahwa di bawah pemerintahan Hamengkubuwana
II, Yogyakarta menjadi kacau. Dengan membaca isi surat dari Sultan Raja itu,
Untuk mendalami bagaimana perkembangan politik Kasultanan Yogyakarta di masa
pemerintahan kolonialisme Inggris
Raffles menyimpulkan
bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang yang keras dan tidak mungkin diajak
kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi duri dalam pemerintahan Raffles di
tanah Jawa. Oleh karena itu, Raffles segera mengirim pasukan di bawah pimpinan
Kolonel Gillespie untuk menyerang Keraton Yogyakarta dan memaksa Sultan
Hamengkubuwana II turun dari tahta. Sultan Hamengkubuwana II berhasil
diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai Sultan Hamengkubuwana III.
Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III
harus menandatangani kontrak bersama Inggris. Isi politik kontrak itu
antara lain sebagai berikut.
1) Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai
Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh)
ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan
Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I
2)
Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya Pangeran Mangkudiningrat
diasingkan ke Penang.
3) semua harta benda milik Sultan Sepuh selama
menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik pemerintah Inggris.
b.
Tindakan dalam bidang ekonomi
Raffles
berusaha melakukan beberapa tindakan untuk memajukan perekonomian di Hindia.
Tetapi program itu tujuan utamanya untuk meningkatkan keuntungan pemerintah
kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan yang dijalankan Raffles sebagai
berikut.
1) Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak
tanah (landrent) yang kemudian
meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang.
2) Penghapusan
penyerahan wajib hasil bumi.
3) Penghapusan kerja rodi dan perbudkan.
4) Penghapusan sistem monopoli.
5)
Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan.
Kebijakan
dan program landrent yang dicanangkan Raffles tersebut terkait erat dengan pandangannya mengenai status tanah sebagai
faktor produksi. Menurut Raffles,
pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah. Hasil sawah kelas satu
dibebani 50% pajak, kelas dua 40%, dan
kelas tiga 33%. Sementara untuk tegalan kelas satu 40%, kelas dua 33% dan kelas
tiga 25% (Parakitri Simbolon, Menjadi
Indonesia, 2007). Pajak ini dapat membebani rakyat.
Raffles
juga seorang ilmuwan. Raffles juga sangat memperhatikan terhadap bahasa dan
adat istiadat masyarakat di Jawa. Ia
juga sangat tertarik pada antropologi dan botani. Makalah makalahnya kemudian
diterbitkan dalam majalah Verhandelingen.
Bahkan begitu terkesan dengan Indonesianya
dengan segala budayanya, apalagi Jawa, maka setelah pulang ke Inggris, Raffles
kemudian menulis buku History of Java Untuk merealisasikan buku itu, Raffles dibantu oleh juru bahasa,
antara lain Raden Ario Notodiningrat. Ia juga memberikan bantuan penelitian
John Crawfurd, sehingga berhasil menyelesaikan tulisannya yang berjudul History
of the East Indian Archipelago .
3. Dominasi Pemerintahan Belanda
Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia pada tahun
1816 lalu digantikan oleh John Fendall
tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi
London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada
Belanda. Dengan demikian, pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai
oleh Belanda.
a.
Jalan tengah bersama komisaris jenderal
Setelah
kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi
nama Komisaris Jenderal yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal, yaitu Pangeran
Willem VI dan beranggotakan tiga orang,
yakni Cornelis Theodorus Elout, Arnold Ardiaan Buyskes, dan Alexander Gerard
Philip Baron Van der Capellen.
Semula
Elout ditunjuk sebagai ketua, tetapi kemudian digantikan oleh Van der Capellen
sebagai ketua dan sekaligus sebagai gubernur jenderal. Pangeran Willem VI
mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan ( Regerings
Reglement ) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undangundang tersebut
menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini
menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana
diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Perdebatan
antara kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah
jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar besarnya belum mencapai titik
temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan
mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat
diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat
pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung
ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
Dengan
mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta
memperhatikan pandangan kaum liberal dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal
sepakat untuk menerapkan kebijakan “jalan tengah”. Maksudnya, eksploitasi
kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar
segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di samping mengusahakan
kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Tetapi
kebijakan jalan tengah ini tidak dapat merubah keadaan.
b.
Sistem tanam paksa
Pada
tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja
Belanda usulan yang berkaitan dengan sistem dan cara melaksanakan politik
kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi
di Negeri Belanda, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang
dapat laku dijual di pasar dunia. Maka sistem penanaman harus dikembangkan
dengan memanfaatkan kebiasaan kaum pribumi/petani, yaitu dengan “kerja rodi”.
Oleh karena itu, penanam yang dilakukan para petani itu bersifat wajib. Kita,
orang Indonesia menyebut sistem ini dengan nama “Sistem Tanam Paksa”. Van den
Bosch menggunakan prinsip bahwa daerah jajahan itu fungsinya sebagai tempat
mengambil keuntungan bagi negeri induk. Diibaratkan oleh Baud, Jawa adalah
“gabus tempat Nederland mengapung”. Jadi dengan kata lain Jawa harus
dieksploitasi semaksimal mungkin untuk keuntungan negeri penjajah. Konsep Bosch
itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Dengan cara
ini diharapkan perekonomian Belanda dapat dengan cepat pulih dan semakin
meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan Van den Bosch membuat suatu
perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman ekspor dapat ditingkatkan
sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun. Van den Bosch
menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC adalah cara yang
terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa.
1)
Ketentuan tanam paksa
Raja Willem tertarik
serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van
den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di
Jawa, Van den Bosch segera mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara
umum Tanam Paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang
dapat diekspor di pasaran dunia.
Secara rinci beberapa
ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22.
Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
a) penduduk menyediakan
sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan
Tanam Paksa;
b) tanah pertanian yang disediakan penduduk
untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah
pertanian yang dimiliki penduduk desa;
c)
waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa
tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;
d)
tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari
pembayaran pajak tanah;
e) hasil tanaman yang terkait dengan
pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika
harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus
dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.;
f)
kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani,
menjadi tanggungan pemerintah;
g)
penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa
berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang
pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum; dan
h) penduduk yang bukan petani, diwajibkan
bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam
satu tahun;
Pada
prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan apabila memang tidak
dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan, ketentuan Tanam Paksa itu masih
memperhatikan martabat dan batas-batas
kewajaran nilai-nilai kemanusiaan.
2)
Pelaksanaan tanam paksa
Menurut
Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus menggunakan organisasi dan
kekuasaan tradisional yang sudah ada. Dalam hal ini para pejabat bumiputra,
kaum priayi dan kepala desa memiliki peran penting. Mereka ini sangat diharapkan
dapat menggerakkan kaum tani wajib menanam tanaman yang laku di pasaran dunia.
Kekuasaan mereka harus diperkokoh dengan cara diberi hak pemilikan atas tanah
dan hakhak istimewa yang lain. Para penguasa pribumi akhirnya lebih menjadi alat kolonial. Dengan demikian
masyarakat umum sudah kehilangan pimpinan
yang menjadi tempat berlindung di negerinya sendiri.
Para
penguasa pribumi demi mengejar cultuur procenten yang besar, kemudian memaksa
para petani di wilayahnya untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam sistem
Tanam Paksa sebanyak-banyaknya agar dapat
menyetorkan hasil yang besar kepada pihak kolonial. Sistem cultuur
procenten inilah kemudian mendorong terjadinya berbagai penyelewengan dalam
pelaksanaan Tanam Paksa. Beberapa penyelewengan itu antara lain:
a) Menurut ketentuan tanah pertanian yang
disediakan penduduk untuk kepentingan Tanam Paksa tidak melebihi seperlima dari
tanah pertanian yang dimiliki petani, tetapi kenyataannya lebih dari seperlima,
sepertiga, bahkan ada yang setengah dan daerahdaerah tertentu ada yang lebih
dari setengah tanah yang dimiliki petani. Hal ini dimaksudkan agar setoran
hasil tanamannya juga bertambah besar, dan bonusnya juga semakin banyak.
b) Menurut ketentuan waktu yang diperlukan
untuk menanam tanaman untuk Tanam Paksa tidak boleh melebihi waktu untuk
menanam padi, ternyata dalam pelaksanaannya waktu yang digunakan untuk menanam
tanaman bagi Tanam Paksa melebihi waktu penanaman padi. Semua ini jelas terkait
agar hasil tanaman untuk Tanam Paksa itu lebih banyak.
Tanam
Paksa telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit, bahkan
meninggal. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa. Bahkan timbul bahaya kelaparan dan kematian di
berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan
Grobogan pada tahun 1850. Dari tahun 1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan
kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden, utang-utang lama VOC dapat
dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dapat dibangun. Pelaksanaan Tanam
Paksa dapat dikatakan telah melanggar hak-hak asasi manusia. Memang harus
diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, misalnya, dikenalkannya beberapa
jenis tanaman baru yang menjadi tanaman ekspor, dibangunnya berbagai saluran
irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel kereta api.
c.
Sistem usaha swasta
Pelaksanaan
Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki perekonomian Belanda. Kemakmuran
juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan dari Tanam Paksa telah mendorong
Belanda berkembang sebagai negara industri. Sejalan dengan hal ini telah
mendorong pula tampilnya kaum liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh
karena itu, mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. Timbullah
pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa.
Pihak
yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif
dan para pegawai pemerintah. Mereka setuju karena Tanam Paksa telah
mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM
( Nederlansche Handel Matschappij ), yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa
karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dari
Hindia Belanda ke Eropa. Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam
Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan
rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran
agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal menghendaki tidak adanya
campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Kegiatan ekonomi sebaiknya
diserahkan kepada pihak swasta.
Penetapan
pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk
ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya
pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah
mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
1) Tahun 1864
dikeluarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan
Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan
disahkan oleh parlemen.
2) Undang-Undang Gula (Suiker Wet).
Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh
pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak
swasta.
3) Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada
tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di
negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain:
a) Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda
dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa
persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanahtanah hutan, pegunungan
dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah
pemerintah.
b)
Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.
c) Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah
pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha
swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun, ada juga
yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada
pemerintah.
Sejak dikeluarkan UU
Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia
Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan.
Oleh karena itu, mulailah era imperialisme modern. Berkembanglah kapitalisme di
Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai:
- tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk
kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing
- tempat pemasaran
barang-barang hasil industri dari Eropa
- penyedia tenaga kerja
yang murah.
Pada tahun 1873
dibangun serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api yang pertama
dibangun adalah antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan
Bogor, dan antara Surabaya dan Malang. Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung
Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven
(Teluk Bayur) di Padang. Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama
setelah adanya pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869. Di samping melakukan
kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil pertanian
rakyat banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami kemunduran karena
terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat transportasi tradisional, seperti
dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan. Dengan demikian rakyat tetap hidup
menderita.
d.
Perkembangan agama kristen
Perkembangan
agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Perkembangan agama Kristen ini
tidak dapat dilepaskan dari kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia.
Bersamaan gelombang kedatangan bangsa-bangsa Eroapa seperti Portugis, Spanyol
datang pula para missionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia.
Dalam kenyataannya agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang di
berbagai daerah. Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik
(selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen
Protestan (selanjutnya disebut Kristen)Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur
mayoritas kristen. Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian
meluaskan wilayahnya ke Kepulauan Maluku dengan maksud memburu rempah-rempah.
Pada tahun 1512 pertama kali kapal Portugis mendarat di Hitu (di Pulau Ambon)
Kepulauan Maluku, kemudian datang Portugis untuk menyebarkan agama Katolik.
Berkembanglah agama Katolik di beberapa daerah di Kepulauan Maluku. Para penyiar
agama Katolik diawali oleh para pastor (dalam bahasa Portugis, padre yang
berarti imam). Pastor yang terkenal waktu itu adalah Pastor Fransiscus Xaverius SJ dari ordo Yesuit.
Usaha penyebaran agama Katolik ini kemudian dilanjutkan oleh pastor-pastor yang
lain.
Agama Kristen di Indonesia, secara intensif terjadi saat pengaruh
kekuasaan orang-orangorang Barat (Portugis, Belanda dan juga Inggris) semakin
kuat. Agama Kristen kemudian berkembang tidak hanya di Indonesia bagian Timur
tetapi juga di berbagai wilayah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa. Kiai Sadrach dalam
petualangannya mencari keyakinan agama, akhirnya ia memeluk agama Kristen setelah dibaptis pada tahun 1867. Ia kemudian
mengembangkan Kristen Protestan dalam kandungan budaya Jawa. Ia bebas
mengembangkan agama Kristen Protestan dengan budaya Jawa. Pengikutnya pun
semakin banyak. Kiai Sadrach juga tidak mau tunduk dan bahkan kemudian
memisahkan diri dari Gereja Protestan Belanda. Ia tinggal dan mengembangkan
Kristen Protestan Jawa ini di desa Karangyoso (sebelah selatan Kutoarjo).
Banyak pengikut Kristen Jawa ini di Jawa Tengah.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar