Minggu, 12 Agustus 2018

Penjajahan Pemerintah Belanda



“Penjajahan Pemerintah Belanda”

1.   Masa Pemerintahan Republik Bataaf
Raja Willem van Oranye ( Raja Willem V) yang memerintah inggris di kota Kew mengeluarkan surat perintah yang terkenal dengan “Surat-Surat Kew” yang berisi agar para penguasa di negeri jajahan belanda menyerahkian wilayahnya kepada inggris bukan kepada perancis. Dengan surat itu pihak inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia  seperti Padang pada tahun 1795, kemudian menguasai  Ambon dan Banda pd tahun 1796.
Pihak Prancis dan Republik Bataaf juga segera mengambil alih seluruh daerah kekuasaan VOC di kepulauan nusantara. Karena Republik Bataaf ini merupakan vassal dari perancis, maka kebijakan kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan hindia masih jg terpengaruhi oleh prancis. Kebijakan utama prancis waktu itu adalah memerangi inggris. Untuk menyerang inggris
a.       Pemerintahan Herman Willem Daendels (1880-1811)
Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris.



·      Bidang pertahanan dan keamanan
Dalam rangka melaksanakan tugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels melakukan langkah-langkah:
a.  membangun benteng-benteng pertahanan baru, seperti benteng Meester Cornelis;
b.  membangun pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. Namun pembangunan pangkalan di Ujungkulon boleh dikatakan tidak berhasil;
c.  meningkatkan jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi karena pada waktu pergi ke Nusantara, Daendels tidak membawa pasukan. Oleh karena itu, Daendels segera menambah jumlah pasukan yang diambil dari orang-orang pribumi, yakni dari 4.000 orang menjadi 18.000 orang
d  membangun jalan raya dari Anyer (Jawa Barat, sekarang Provinsi Banten) sampai Panarukan (ujung timur Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km. Jalan ini dinamakan Jalan De Groote Postweg yang oleh masyarakat sering disebut dengan jalan Daendels
Pada awalnya Daendels dikenal sebagai tokoh muda yang demokratis dan dijiwai panji-panji Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite dan fraternite. Namun setelah memegang tampuk pemerintahan, ia berubah menjadi diktator. Daendels juga mengerahkan rakyat untuk kerja rodi. Kerja rodi itu membuat rakyat yang sudah jatuh miskin menjadi semakin menderita.
·      Bidang politik dan pemerintahan
Daendels juga melakukan beberapa tindakan yang dapat memperkuat kedudukannya di Nusantara, antara lain:
a. membatasi secara ketat kekuasaan raja-raja di Nusantara;
b. Daendels memerintah secara sentralistik yang kuat dengan membagi  Pulau Jawa menjadi 23 wilayah besar (hoofdafdeeling) yang kemudian dikenal dengan keresidenan (residentie). Tiap karesidenan dapat dibagi menjadi beberapa kabupaten (regentschap) (Suhartono, “Dampak Politik Hindia Belanda (1800-1830)”, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
c. berdasarkan Dekrit 18 Agustus 1808, Daendels juga telah merombak Provinsi Jawa Pantai Timur Laut menjadi 5 prefektur. (wilayah yang memiliki otoritas) dan 38 kabupaten. Terkait dengan ini maka Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan daerahnya dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan kolonial;
d.  kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional diubah menjadi pegawai pemerintah (kolonial) yang digaji. Sekalipun demikian para bupati masih memiliki hak-hak feodal tertentu.
   Jumlah keresidenan di pulau jawa pada masa pemerintahan Daendels ada 23, yaitu: Tegal, Bagelen, Banyumas, Cirebon, Priangan, Karawang,  Buitenzorg (Bogor),  Banten,  Batavia (Jakarta), Surakarta, Yogyakarta, Banyuwangi, Besuki, Pasuruan, Kediri, Surabaya, Rembang, Madiun, Pacitan, Jepara, Semarang, Kedu, Pekalongan.
·      Bidang peradilan
Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di bidang peradilan. Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai peraturan.
a.       Daendels membentuk tiga jenis peradilan:
1.       peradilan untuk orang Eropa
2.       peradilan untuk orang-orang Timur Asing
3.       peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di Batavia, Surabaya, dan Semarang
b.      peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing.
·      Sosial ekonomi
Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels itu misalnya
a.  Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta   dan Yogyakarta yang intinya melakukan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya daerah Cirebon
b. meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak dan penjualan tanah kepada swasta
c. meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia
d. rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya
e. melakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta

b.      Pemerintahan Janssens (1811)


Perancis mengirim Daendels ke Indonesia dengan tugas utama untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tetapi armada Inggris ternyata lebih kuat dan unggul. Jan Williem Janssen yang menggantikan Daendels tidak bisa berbuat banyak. Penguasa Inggris di India, Lord Minto kemudian memerintahkan Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Pulau Penang untuk segera menguasai Jawa. Pengalaman pahit Janssen saat terusir dari Tanjung Harapan pada tahun 1806 itu Janssen terusir dari Tanjung Harapan, karena daerah itu jatuh ke tangan Inggris pun terulang. Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak 60 kapal Inggris di bawah komando Raffles telah muncul di perairan sekitar Batavia. Beberapa minggu berikutnya, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia jatuh ke tangan Inggris. Janssen berusaha menyingkir ke Semarang bergabung dengan Legiujkn Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari Yogyakarta serta Surakarta. Namun, pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil memukul mundur Janssen beserta pasukannya. Janssen kemudian mundur ke Salatiga dan akhirnya menyerah di Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang yang ditandatangani pada tanggal 18 September 1811.

2.  Perkembangan Kolonialisme Inggris di Indonesia
Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan langkahlangkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan. Dalam rangka menjalankan pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip.
-                 -   Pertama, segala bentuk kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh  rakyat.
-                 -   Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial.
-                -   Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa.  Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.

a.       Kebijakan dalam bidang pemerintahan
Pada waktu Raffles berkuasa, konflik di lingkungan istana Kasultanan Yogyakarta nampaknya belum surut. Sultan Sepuh yang pernah dipecat oleh Daendels, menyatakan diri kembali sebagai Sultan Hamengkubuwana II dan Sultan Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai putera mahkota. Tetapi nampaknya Sultan Raja tidak puas dengan tindakan ayahandanya, Hamengkubuwana II. Melalui seorang perantara bernama Babah Jien Sing, Sultan Raja berkirim surat kepada Raffles. Surat itu isinya melaporkan bahwa di bawah pemerintahan Hamengkubuwana II, Yogyakarta menjadi kacau. Dengan membaca isi surat dari Sultan Raja itu, Untuk mendalami bagaimana perkembangan politik Kasultanan Yogyakarta di masa pemerintahan kolonialisme Inggris
Raffles menyimpulkan bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang yang keras dan tidak mungkin diajak kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi duri dalam pemerintahan Raffles di tanah Jawa. Oleh karena itu, Raffles segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Gillespie untuk menyerang Keraton Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwana II turun dari tahta. Sultan Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III  harus menandatangani kontrak bersama Inggris. Isi politik kontrak itu antara lain sebagai berikut.
1)    Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh) ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Paku  Alam I
 2)  Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya Pangeran Mangkudiningrat diasingkan ke Penang.
3)   semua harta benda milik Sultan Sepuh selama menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik pemerintah Inggris.

b.      Tindakan dalam bidang ekonomi
Raffles berusaha melakukan beberapa tindakan untuk memajukan perekonomian di Hindia. Tetapi program itu tujuan utamanya untuk meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan yang dijalankan Raffles sebagai berikut.
1)  Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (landrent) yang kemudian  meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang.
2)  Penghapusan  penyerahan wajib hasil bumi.
3)   Penghapusan kerja rodi dan perbudkan.
4)   Penghapusan sistem monopoli.
 5)   Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan. 

Kebijakan dan program landrent yang dicanangkan Raffles tersebut terkait erat dengan  pandangannya mengenai status tanah sebagai faktor produksi.  Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah. Hasil sawah kelas satu dibebani 50% pajak, kelas dua 40%,  dan kelas tiga 33%. Sementara untuk tegalan kelas satu 40%, kelas dua 33% dan kelas tiga 25% (Parakitri Simbolon,  Menjadi Indonesia, 2007). Pajak ini dapat membebani rakyat.
Raffles juga seorang ilmuwan. Raffles juga sangat memperhatikan terhadap bahasa dan adat istiadat  masyarakat di Jawa. Ia juga sangat tertarik pada antropologi dan botani. Makalah makalahnya kemudian diterbitkan dalam majalah Verhandelingen. Bahkan begitu  terkesan dengan Indonesianya dengan segala budayanya, apalagi Jawa, maka setelah pulang ke Inggris, Raffles kemudian menulis buku History of Java Untuk merealisasikan  buku itu, Raffles dibantu oleh juru bahasa, antara lain Raden Ario Notodiningrat. Ia juga memberikan bantuan penelitian John Crawfurd, sehingga berhasil menyelesaikan tulisannya yang berjudul History of the East Indian Archipelago .

3.  Dominasi Pemerintahan Belanda
Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia pada tahun 1816 lalu digantikan oleh  John Fendall tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian, pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda.

a.       Jalan tengah bersama komisaris jenderal
Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal, yaitu Pangeran Willem VI dan beranggotakan  tiga orang, yakni Cornelis Theodorus Elout, Arnold Ardiaan Buyskes, dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen.
Semula Elout ditunjuk sebagai ketua, tetapi kemudian digantikan oleh Van der Capellen sebagai ketua dan sekaligus sebagai gubernur jenderal. Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan ( Regerings Reglement ) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undangundang tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Perdebatan antara kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta memperhatikan pandangan kaum liberal dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan “jalan tengah”. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat merubah keadaan.

b.      Sistem tanam paksa
Pada tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan sistem dan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi di Negeri Belanda, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia. Maka sistem penanaman harus dikembangkan dengan memanfaatkan kebiasaan kaum pribumi/petani, yaitu dengan “kerja rodi”. Oleh karena itu, penanam yang dilakukan para petani itu bersifat wajib. Kita, orang Indonesia menyebut sistem ini dengan nama “Sistem Tanam Paksa”. Van den Bosch menggunakan prinsip bahwa daerah jajahan itu fungsinya sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri induk. Diibaratkan oleh Baud, Jawa adalah “gabus tempat Nederland mengapung”. Jadi dengan kata lain Jawa harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk keuntungan negeri penjajah. Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Dengan cara ini diharapkan perekonomian Belanda dapat dengan cepat pulih dan semakin meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan Van den Bosch membuat suatu perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman ekspor dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun. Van den Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC adalah cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa.

1)     Ketentuan tanam paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa, Van den Bosch segera mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia.
Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.     
a) penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk  pelaksanaan Tanam Paksa;
b)  tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa;
 c)     waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;
 d)  tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah;
e)   hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.;
 f)   kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah;
 g)    penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum; dan
h)   penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun;
Pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan apabila memang tidak dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan, ketentuan Tanam Paksa itu masih memperhatikan martabat  dan batas-batas kewajaran nilai-nilai kemanusiaan.
2)     Pelaksanaan tanam paksa
Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus menggunakan organisasi dan kekuasaan tradisional yang sudah ada. Dalam hal ini para pejabat bumiputra, kaum priayi dan kepala desa memiliki peran penting. Mereka ini sangat diharapkan dapat menggerakkan kaum tani wajib menanam tanaman yang laku di pasaran dunia. Kekuasaan mereka harus diperkokoh dengan cara diberi hak pemilikan atas tanah dan hakhak istimewa yang lain. Para penguasa pribumi akhirnya  lebih menjadi alat kolonial. Dengan demikian masyarakat umum sudah kehilangan pimpinan  yang menjadi tempat berlindung di negerinya sendiri.
Para penguasa pribumi demi mengejar cultuur procenten yang besar, kemudian memaksa para petani di wilayahnya untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam sistem Tanam Paksa sebanyak-banyaknya agar dapat  menyetorkan hasil yang besar kepada pihak kolonial. Sistem cultuur procenten inilah kemudian mendorong terjadinya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam Paksa. Beberapa penyelewengan itu antara lain:
a)  Menurut ketentuan tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk kepentingan Tanam Paksa tidak melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki petani, tetapi kenyataannya lebih dari seperlima, sepertiga, bahkan ada yang setengah dan daerahdaerah tertentu ada yang lebih dari setengah tanah yang dimiliki petani. Hal ini dimaksudkan agar setoran hasil tanamannya juga bertambah besar, dan bonusnya juga semakin banyak.
b)   Menurut ketentuan waktu yang diperlukan untuk menanam tanaman untuk Tanam Paksa tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi, ternyata dalam pelaksanaannya waktu yang digunakan untuk menanam tanaman bagi Tanam Paksa melebihi waktu penanaman padi. Semua ini jelas terkait agar hasil tanaman untuk Tanam Paksa itu lebih banyak.
Tanam Paksa telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit, bahkan meninggal. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa. Bahkan  timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850. Dari tahun 1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden, utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dapat dibangun. Pelaksanaan Tanam Paksa dapat dikatakan telah melanggar hak-hak asasi manusia. Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, misalnya, dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman ekspor, dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel kereta api.
c.       Sistem usaha swasta
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan dari Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai negara industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa.
Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah. Mereka setuju karena Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM ( Nederlansche Handel Matschappij ), yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa. Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
1) Tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh parlemen.     
2)   Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.     
3)   Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain:  
a)  Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanahtanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah pemerintah. 
b) Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.  
c)  Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.

Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah era imperialisme modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai:
-  tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing
- tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa
- penyedia tenaga kerja yang murah.

Pada tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api yang pertama dibangun adalah antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan Bogor, dan antara Surabaya dan Malang. Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) di Padang. Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama setelah adanya pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869. Di samping melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil pertanian rakyat banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat transportasi tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan. Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita.

d.      Perkembangan agama kristen
Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Perkembangan agama Kristen ini tidak dapat dilepaskan dari kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia. Bersamaan gelombang kedatangan bangsa-bangsa Eroapa seperti Portugis, Spanyol datang pula para missionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Dalam kenyataannya agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang di berbagai daerah. Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik (selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen Protestan (selanjutnya disebut Kristen)Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur mayoritas kristen. Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian meluaskan wilayahnya ke Kepulauan Maluku dengan maksud memburu rempah-rempah. Pada tahun 1512 pertama kali kapal Portugis mendarat di Hitu (di Pulau Ambon) Kepulauan Maluku, kemudian datang Portugis untuk menyebarkan agama Katolik. Berkembanglah agama Katolik di beberapa daerah di Kepulauan Maluku. Para penyiar agama Katolik diawali oleh para pastor (dalam bahasa Portugis, padre yang berarti imam). Pastor yang terkenal waktu itu adalah Pastor  Fransiscus Xaverius SJ dari ordo Yesuit. Usaha penyebaran agama Katolik ini kemudian dilanjutkan oleh pastor-pastor yang lain.
Agama Kristen di Indonesia, secara intensif terjadi saat pengaruh kekuasaan orang-orangorang Barat (Portugis, Belanda dan juga Inggris) semakin kuat. Agama Kristen kemudian berkembang tidak hanya di Indonesia bagian Timur tetapi juga di berbagai wilayah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa. Kiai Sadrach dalam petualangannya mencari keyakinan agama, akhirnya ia memeluk agama Kristen  setelah dibaptis pada tahun 1867. Ia kemudian mengembangkan Kristen Protestan dalam kandungan budaya Jawa. Ia bebas mengembangkan agama Kristen Protestan dengan budaya Jawa. Pengikutnya pun semakin banyak. Kiai Sadrach juga tidak mau tunduk dan bahkan kemudian memisahkan diri dari Gereja Protestan Belanda. Ia tinggal dan mengembangkan Kristen Protestan Jawa ini di desa Karangyoso (sebelah selatan Kutoarjo). Banyak pengikut Kristen Jawa ini di Jawa Tengah.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar